1.
Faktor Eksternal
Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor internal
kemunduran dan kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal
yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
a. Perang Salib
Kekalahan
tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang dari pasukan Alp Arselan yanag
hanya berkekuatan 15.000 prajurit telah menanamkan benih permusuhan dan
kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertabah
setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa
peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin
berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan
kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal
dengan nama Perang Salib.
Perang salib
yang berlangsung dalam beberapa
gelombang atau peride telah banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilaya
Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil
menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre. Pengaruh
Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu
Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak
dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen
berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di
kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan
pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.
b. Serangan Mongolia Ke Negeri Muslim dan Berakhirnya Dinasti
Abbasiyah
Orang-orang
Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di
China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan
(603-624 H). mereka adalah orang-orang Badui-sahara yang dikenal keras kepala
dan suka aberlaku jahat.Sebagai awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam,
orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia
dan juga menguasai Asia Kecil. Pada bulan September 1257, Hulagu mengirimkan
ultimatum keada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah
luar diruntuhkan.
Tetapi
Khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka pada Januari 1258, asuakn Hulagu
bergerang untuk mengahncurkan tembok ibukota. Sementara itu Khalifah
al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah
itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua
dibunuh. Hulagu mengzinkan pasukannya untuk melakukan aa saja di Baghdad.
Mereka menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung
selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang.Perlu juga
disebutkan disini peran busuk yang dimainkan oleh seorang Syi’ah Rafidhah yaitu
Ibn ’Alqami, menteri al-Mu’tashim, yang bekerjasama dengan orang-orang Mongolia
dan membantu pekerjaan-pekerjaan mereka
2.
Faktor Internal
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa
kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab
kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat
pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat,
benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas
terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai
kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur
roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan
khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling
berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut
a.
Perebutan Kekuasaan di
Pusat Pemerintahan
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan
orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua
golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas.
Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan
persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih
orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang
Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas
satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah
(kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas
ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka
menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara
itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah
darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam) di
dunia Islam.Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh
penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru.
Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara.
Adalah Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar
kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi
orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota.
Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami, sehingga
khalifah berikutnya menjadi boneka mereka.
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah, naik
tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang
diangkat jadi Khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah
berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian
direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga (334-447), dan
selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat
(447-590H).
b. Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan Diri
wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama
hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda,
seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam
kentaannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, secara riil,
daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan.
Hubungan dengan Khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.Ada kemungkinan
penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan
pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat
mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana
pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik
beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah
terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang
dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.
Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran
mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dengan dua
cara, pertama, seorang peminpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil
memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulat Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah
di Marokko. Kedua, seorang yang ditunjk menjadi gubernur oleh Khalifah yang
kedudukannya semakin kuat, seerti daulah Aghlabiyah di Tunisiyah dan
Thahiriyyah di Khurasan.Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekuasaan
Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
1. Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H),
Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah
di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447).
2. Yang berbangsa Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H),
Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H),
Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya
3. Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489
H), Ayubiyah (564-648 H).
4. Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 h),
Aghlabiyyah di Tunisia (18-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah
di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H),
Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H),
Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
5. Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan
Fatimiyah di Mesir.
3. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas
merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar,
sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju
terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah
memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran
yang drastis.Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan
negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya
pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya
terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan
banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar
upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan
para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan
para pejabat melakukan korupsi.Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan
perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk
memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling
berkaitan dan tak terpisahkan.
4. Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi
penguasa, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran
Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan
gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.Adalah khalifah
Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij
yang mendirikan Negara Shafariyah di
Sajalmasah pada tahun 140 H. setelah al Manshur wafat digantikan oleh putranya
Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau
mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan
mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak
menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan
Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik
tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di
kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik
bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di
balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat
(ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah
memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham
Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga
melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein
Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.),
kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein
tersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani
Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah
Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari
Baghdad yang Sunni.
Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti
perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh
al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan
mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa
al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara
dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali
pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut paham
Asy'ariyyah penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis.
Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan Berjaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar