Kamis, 23 Juni 2016

UMR dalam kajian Islam



Inti ajaran Islam di bidang ekonomi adalah ”maslahah dan adl”, Maslahah terkait dengan nilai absolut keberadaan barang, jasa, atau action (termasuk kebijakan ekonomi) dimana kesemuanya harus memenuhi kriteria-kriteria yang mengarah pada perwujudan syariah (maqashid al-syariah) yaitu perlindungan agama, jiwa akal, harta dan keturunan. Manusia tidak berhak atas bagian yang tidak diberikan Tuhan kepadanya, Tuhan memberikan pada setiap orang haknya oleh karena itu jangan menggangu apa yang dimiliki orang lain. Sementara adl terkait dengan interaksi relatif antara satu hal dengan hal lain, individu yang satu dengan individu yang lain, atau masyarakat tertentu dengan masyarakat yang lain.
Untuk mewujudkan kedua norma utama tersebut, diperlukan beberapa institusi yaitu mencakup anatara lain, pertama, bentuk kepemilikan yang multijenis, disatu sisi mengakui dan melindungi kepemilikan individu, tetapi disisi lain juga menekankan penghormatan atas kepemilikan bersama dalam konteks masyarakat atau negara, kedua, insentif dunia plus akhirat sebagai motivasi untuk melakukan kegiatan ekonomi, ketiga, kebebasan berusaha, keempat, pasar sebagai mekanisme pertukaran ekonomi, kelima, peran pemerintah untuk menjaga pasar sedemikian rupa sehingga kemaslahatan dan keadilan dapat terwujud.
Solusi terhadap problem UMR dan UMD ini tentu saja harus terus diupayakan dan diharapkan mampu membangun kondisi seideal mungkin. Untuk tujuan itu, setidaknya ada dua kondisi mendesak yang harus diwujudkan, yaitu :
1.      Kondisi normal (persaingan sempurna) yang mampu menyetarakan posisi buruh-pengusaha sehingga penentuan besarnya upah disepakati oleh kedua pihak yang besarnya ditentukan oleh besaran peran serta kerja pihak buruh terhadap jalannya usaha perusahaan yang bersangkutan. Kondisi seperti ini bisa terwujud jika kualitas SDM buruh memadai sesuai dengan kebutuhan, dan besarnya pasar tenaga kerja seimbang. Kondisi seperti ini akan mampu mewujudkan “akad ijarah” (perjanjian kerja) yang dalam pandangan syariat Islam yang didefinisikan secara ringkas sebagai “’Aqdun ‘ala al manfa’ati bi ‘iwadhin” (Aqad atas suatu manfaat dengan imbalan/ upah).
2.      Mewujudkan kondisi ideal ketika seluruh rakyat (bukan hanya kaum buruh) memiliki pendapatan lain untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal (hajat asasiyah) bagi kehidupannya. Perwujudan kondisi ini, dalam pandang-an syariat Islam menjadi tanggung jawab utama negara. Dalam politik ekonomi Islam, pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok (primer) rakyat dan mempermudah kesempatan untuk kebutuhan tambahan (sekunder ataupun tersier)
 
Kontak kerja antara pengusaha dan pekerja adalah kontrak kerja sama yang harusnya saling menguntungkan. Pengusaha diuntungkan karena memeroleh jasa dari pekerja untuk melaksanakan pekerjaan tertentu yang dibutuhkan pengusaha. Sebaliknya, pekerja diuntungkan karena memperoleh penghasilan dari imbalan yang diberikan pengusaha karena memberikan jasa kepada pengusaha. Karena itulah, hubungan ketenagakerjaan di dalam pandangan Islam adalah hubungan kemitraaan yang harusnya saling menguntungkan. Tidak boleh satu pihak menzalimi dan merasa dizalimi oleh pihak lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar