Inti ajaran Islam di bidang ekonomi adalah
”maslahah dan adl”, Maslahah terkait dengan nilai absolut keberadaan barang,
jasa, atau action (termasuk kebijakan ekonomi) dimana kesemuanya harus memenuhi
kriteria-kriteria yang mengarah pada perwujudan syariah (maqashid al-syariah)
yaitu perlindungan agama, jiwa akal, harta dan keturunan. Manusia tidak berhak
atas bagian yang tidak diberikan Tuhan kepadanya, Tuhan memberikan pada setiap
orang haknya oleh karena itu jangan menggangu apa yang dimiliki orang lain.
Sementara adl terkait dengan interaksi relatif antara satu hal dengan hal lain,
individu yang satu dengan individu yang lain, atau masyarakat tertentu dengan
masyarakat yang lain.
Untuk mewujudkan kedua norma utama tersebut,
diperlukan beberapa institusi yaitu mencakup anatara lain, pertama,
bentuk kepemilikan yang multijenis, disatu sisi mengakui dan melindungi
kepemilikan individu, tetapi disisi lain juga menekankan penghormatan atas
kepemilikan bersama dalam konteks masyarakat atau negara, kedua,
insentif dunia plus akhirat sebagai motivasi untuk melakukan kegiatan
ekonomi, ketiga, kebebasan berusaha, keempat, pasar
sebagai mekanisme pertukaran ekonomi, kelima, peran pemerintah
untuk menjaga pasar sedemikian rupa sehingga kemaslahatan dan keadilan dapat
terwujud.
Solusi terhadap problem UMR dan UMD ini tentu
saja harus terus diupayakan dan diharapkan mampu membangun kondisi seideal
mungkin. Untuk tujuan itu, setidaknya ada dua kondisi mendesak yang harus
diwujudkan, yaitu :
1.
Kondisi normal (persaingan sempurna) yang mampu
menyetarakan posisi buruh-pengusaha sehingga penentuan besarnya upah disepakati
oleh kedua pihak yang besarnya ditentukan oleh besaran peran serta kerja pihak
buruh terhadap jalannya usaha perusahaan yang bersangkutan. Kondisi seperti ini
bisa terwujud jika kualitas SDM buruh memadai sesuai dengan kebutuhan, dan
besarnya pasar tenaga kerja seimbang. Kondisi seperti ini akan mampu mewujudkan
“akad ijarah” (perjanjian kerja) yang dalam pandangan syariat Islam yang
didefinisikan secara ringkas sebagai “’Aqdun ‘ala al manfa’ati bi ‘iwadhin”
(Aqad atas suatu manfaat dengan imbalan/ upah).
2.
Mewujudkan kondisi ideal ketika seluruh rakyat
(bukan hanya kaum buruh) memiliki pendapatan lain untuk memenuhi kebutuhan
dasar minimal (hajat asasiyah) bagi kehidupannya. Perwujudan kondisi ini, dalam
pandang-an syariat Islam menjadi tanggung jawab utama negara. Dalam politik
ekonomi Islam, pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok
(primer) rakyat dan mempermudah kesempatan untuk kebutuhan tambahan (sekunder
ataupun tersier)
Kontak kerja antara pengusaha dan pekerja adalah kontrak kerja sama yang harusnya saling menguntungkan. Pengusaha diuntungkan karena memeroleh jasa dari pekerja untuk melaksanakan pekerjaan tertentu yang dibutuhkan pengusaha. Sebaliknya, pekerja diuntungkan karena memperoleh penghasilan dari imbalan yang diberikan pengusaha karena memberikan jasa kepada pengusaha. Karena itulah, hubungan ketenagakerjaan di dalam pandangan Islam adalah hubungan kemitraaan yang harusnya saling menguntungkan. Tidak boleh satu pihak menzalimi dan merasa dizalimi oleh pihak lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar